Pengamat Menilai Pemblokiran Rekening oleh PPATK Langgar HAM

Gambar Gravatar
img 20250731 164626

Pontianak, ZONA Kalbar.id – Kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang melakukan pemblokiran rekening secara masif selama 3 hingga 13 bulan menuai kritik keras dari sejumlah pihak. Kebijakan ini dianggap berlebihan dan berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama hak atas akses ekonomi dan keadilan hukum.

Sejak pertengahan 2025, sejumlah laporan bermunculan di media sosial dari nasabah yang mengaku rekeningnya diblokir tanpa penjelasan memadai. Banyak di antara mereka yang bukan pelaku kejahatan, melainkan korban dari kebijakan sweeping yang dinilai tidak akuntabel.

Bacaan Lainnya

Sejumlah nasabah mengungkapkan kekecewaannya terhadap kebijakan pemblokiran rekening secara sepihak yang diduga atas perintah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Mereka mempertanyakan dasar pemblokiran, mengingat uang yang diblokir adalah dana pribadi.

“Ini pasti atas persetujuan Presiden. Tapi aneh, uang pribadi kok bisa disita negara. Kalau mau diambil lagi, harus minta izin dulu ke mereka,” ujar Erin salah satu nasabah asal Pontianak, Kamis 31 Juli 2025.

Erin menyebutkan bahwa rekening anaknya yang masih kecil di salahsatu turut diblokir dengan nominal Rp1,2 juta. “Untung rekening yang nilainya besar masih bisa dicairkan. Tapi tetap saja, untuk membuka blokir, pihak bank harus mengajukan permohonan dulu ke PPATK,” katanya.

Erin menilai bahwa tindakan ini tidak hanya merugikan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). “Ini menyangkut hak atas kepemilikan pribadi. Tidak bisa sembarangan diblokir tanpa kejelasan,” ujarnya kesal.

Pengamat hukum dan kebijakan publik Kalimantan Barat, Dr. Herman Hofi Munawar, Kamis 31 Juli 2025, menyebut bahwa pemblokiran rekening oleh PPATK seharusnya dilakukan secara selektif dan berdasarkan permintaan aparat penegak hukum, bukan atas inisiatif sepihak tanpa prosedur hukum yang jelas.

“Kalau pemblokiran berlangsung berbulan-bulan tanpa status hukum terhadap pemilik rekening, ini bentuk pembatasan hak yang sewenang-wenang. Bisa dikategorikan pelanggaran HAM,” ujarnya.

Menurut Herman Hofi, tindakan semacam ini harus diuji secara yuridis dan konstitusional karena menyangkut hak atas kepemilikan dan akses terhadap alat transaksi ekonomi, yang dijamin dalam UUD 1945.

PPATK berdalih, pemblokiran dilakukan dalam rangka pencegahan dan deteksi dini terhadap tindak pidana pencucian uang (TPPU) maupun pendanaan terorisme. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa tindakan tersebut mengacu pada temuan transaksi mencurigakan.

Sejauh ini sudah lebih seratus empat puluh ribu rekening nasabah yang telah di bekukan oleh PPATK, meski sudah bayak rekening nasabah yang dibekukan namun PPATK belum membuka data rinci soal jumlah rekening yang diblokir, alasan hukum spesifik tiap kasus, dan proses keberatan yang bisa ditempuh nasabah. Ketertutupan inilah yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat.

Dr. Herman Hofi Munawar mendesak Ombudsman RI dan Komnas HAM untuk melakukan investigasi mendalam terhadap kebijakan pemblokiran ini. Menurut Herman Hofi, pemerintah wajib menjamin bahwa penegakan hukum tetap dalam koridor prinsip due process of law.

“Tidak bisa serta-merta memblokir dan membiarkan rakyat menggantung hidupnya berbulan-bulan tanpa kejelasan. Ini harus diaudit secara independen,” ujar Herman Hofi.

“Kebijakan pemblokiran ini sangat aneh, dan bahkan kejam. Ini adalah kebijakan yang menimbulkan kekhawatiran besar di masyarakat, karena dampak langsungnya terhadap kehidupan sehari-hari warga.

Menurut Herman Hofi, kebijakan ini tidak realistis dengan pola hidup masyarakat Ia meyebut banyak orang tidak melakukan transaksi bank setiap bulannya.

“Kebayakan nasabah menyimpan uang untuk tujuan jangka panjang (tabungan pensiun, dana darurat), atau hanya menggunakan rekening untuk menerima gaji/pembayaran dan menariknya langsung. Ada juga rekening pasif yang jarang digunakan.
Hentikanlah kebijakan membuat gaduh di masyrakat,” ujarnya.

Sejumlah advokat pun tengah menginisiasi gugatan class action sebagai bentuk perlawanan hukum terhadap kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat kecil.

Sementara itu, di media sosial, banyak warganet membagikan pengalaman mereka menghadapi kebuntuan karena rekening pribadi atau bisnis dibekukan tanpa jalan keluar. Sebagian mengaku kehilangan kepercayaan terhadap sistem keuangan nasional.

Kritik juga muncul dari pelaku UMKM yang merasa kebijakan ini memperburuk iklim usaha, terutama di tengah ketidak setabilan ekonomi. (Butun)

Baca Juga: Polisi Belum Tetapkan Tersangka Kasus Kekerasan Seksual terhadap Balita di Pontianak

Penulis

  • ZONA Kalbar.id

    Zona Kalbar.id adalah media online yang menyajikan berita terkini dan terpercaya, segala informasi terkomfirmasi dengan jelas dan lugas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *